Pinto Aceh, Warisan Budaya Yang Terjaga


Aceh memiliki beragam seni budaya yang luar biasa, baik dalam betuk tarian, alat musik, seni kerajinan, maupun seni bertutur dalam bentuk sastra lisan dan tulisan. Tahun ini, kementerian Pendidikaan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Republik Indonesia Menetapkan lima jenis bentuk karya seni tradisional Aceh tak benda menjadi warisan budaya Indonesia. Ke lima bentuk karya seni tradisional Aceh yang ditetapkan sebagai warisan budaya Indonesia itu adalah Tari Dampeng (Aceh Singkil) Tari Rapai Geleng (Aceh Barat Daya), Tari Rabbani Wahid (Bireuen), Tari Bines (Gayo Lues) dan Perhiasan Pinto Aceh (Pintu Aceh). Dari ke lima jenis karya seni tradisional Aceh yang ditetapkan oleh Kemendibud tersebut,  ternyata sebagian besar berasal dari seni tari, hanya satu yang bukan yakni Pinto Aceh. Dari sinilah saya sebagai penulis tertarik untuk mengupas lebih jauh tentang Pinto Aceh yang satu-satunya masuk ke dalam lima besar karya seni tradisional Aceh non tari yang ditetapkan oleh Kemendikbud menjadi warisan budaya Indonesia. 

Gambar, Perhiasan Pinto Aceh masuk menjadi warisan budaya Indonesia yang telah ditetapkan oleh Kemendikbud (megahfmaceh.com).

Perhiasan Pinto Aceh ternyata merupakan satu perhiasan tradisional Aceh yang sangat terkenal, yang tak hanya di Aceh Itu sendiri, tapi juga sudah sangat masyur di pasaran perhiasan nasional dan mancanegara. Dari 250 lebih jenis perhiasan tradisional Aceh, perhiasan Pinto Aceh sampai saat ini masih menjadi perhiasan yang paling diminati oleh para pemburu perhiasan di pasaran perhiasan nasional. Dan sekarang Pinto Aceh telah menjadi perhiasan favorit bagi masyarakat di Nusantara. Saya sendiri juga tetarik urtuk membeli perhiasan Pinto Aceh dalm bentuk motif baju, ini dia foto-nya.

       Foto saya di monas dengan baju hijau bermotif pinto Aceh (dok pri)

            Foto baju saya lainnya yang juga bermotif pinto Aceh (dok pri).

Bahan baku pembuatan perhiasan Pinto Aceh masih tetap menggunakan emas berkadar 18-22 karat agar lebih kokoh. Sebab, bila perhiasan Pinto Aceh ini dibuat dengan bahan emas murni 24 karat, ia akan mudah terlipat-lipat, baik ketika membuatnya ataupun saat memakainya karena ia tidak bercampur dengan jenis logam lain.

Sejarah Awal Pinto Aceh
Berbicara mengenai sejarah awal munculnya perhiasan Pinto Aceh, perhiasan motif Pinto Aceh ternyata sudah muncul pada 1926, ketika pemerintah kolonial Belanda di Kutaraja (Banda Aceh sekarang) menyelenggarakan satteling (pasar malam) terbesar yang digelar di Esplanade (lapangan Blang Padang). Di pasar malam tersebut pihak Belanda memberi kesempatan kepada para pengrajin emas dan perak untuk membuka stand-nya, guna memamerkan hasil kerajinan serta karya keterampilan tangan mereka.

Setelah pasar malam itu selesai, seorang perajin emas dan perak bernama Mahmud Ibrahim (Utoh Mud), penduduk Blang Oi Banda Aceh, mendapat sertifikat dari panitia satteling. Karena kemahiran dan keterampilannya dalam seni tempa emas. Para pejabat Belanda dan keluarga mereka sering memesan atau membeli berbagai jenis perhiasan tradisional Aceh pada Utoh Mud. Kala itu, Utoh Mud dapat ditemui di pusat usaha kerajinan perhiasan, di Jalan Bakongan, Kutaraja. Bangunan tersebut kemudian dibongkar untuk perluasan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh.

Sebagai seorang pengrajin perhiasan emas, Utoh Mud yang mengantongi sertifikat bergengsi dari pemerintah Belanda itu, pada 1935 menciptakan sebuah perhiasan baru, yaitu Pinto Aceh yang motifnya diambil dari bangunan Pinto Khop. Pada saat itu Utoh Mud hanya membuat satu jenis perhiasan saja berupa perhiasan bros, perhiasan yang sebelumnya memang sudah ada di antara jenis-jenis perhiasan emas tradisional Aceh selain motif Pinto Aceh. Bros Pinto Aceh yang meniru Pinto Khop, bentuknya agak ramping dengan jeruji-jerujinya yang dihiasi motif suluran daun, ditambah lagi dengan rumbai-rumbai sebagai pelengkap pada kedua sisi perhiasan.

Sejak saat itu, Pinto Aceh terus menjadi perhiasan yang sangat popular dan juga paling diminati, tak hanya oleh kaum perempuan di Aceh, melainkan juga oleh perempuan di luar Aceh. Dan kini sebagian besar pelancong baik laki-laki maupun perempuan yang berkunjung ke Aceh seperti dari Jakarta, Malaysia, Singapura dan Brunai Darussalam, jika ingin membeli perhiasan khas Aceh, bisa dipastikan yang dicari adalah perhiasan bermotif Pinto Aceh sebagai oleh-oleh untuk dibawa pulang ke negerinya. Itu pula sebabnya, hingga sekarang Pinto Aceh masih terus ditempa dengan motif yang semakin halus dan indah, dibandingkan perhiasan Pinto Aceh produksi era 1960 an hingga 1980 an.

Dan ini bukan berarti bahwa perhiasan-perhiasan tradisional Aceh lainnya tidak mendapat perhatian di pasar perhiasan. Selain Pinto Aceh, perhiasan tradisional Aceh lain yang tak kalah indahnya adalah Boh Dokma, Subang/Anting Aceh, Talo Gulee/Taloe Jaroe, Manek/Manik Krawang. Sayangnya, perhiasan-perhiasan ini sudah sangat langka dan nyaris tidak dikenali lagi oleh orang Aceh sendiri. Hal ini disebabkan oleh surutnya ketrampilan seni tempa emas Aceh dan kurang mahirnya tukang-tukang emas generasi sekarang dalam membuat corak tersebut.
Foto Boh dokma  yang merupakan Bagian dari seperangkat perhiasan yang dikenakan wanita Aceh dalam upacara adat. Boh Dogma adalah kancing atas baju adat tradisional Aceh. Terbuat dari emas 16 karat, bentuknya seperti kerucut dengan hiasan bintikbintik yang melingkar Kancing yang besar mempunyai garis tengah 3 cm. (Sumber foto: http://budaya-indonesia.org)

Foto 6 Subang/Anting Aceh, memiliki diameter dengan ukuran 6-7 cm. Sepasang Subang yang terbuat dari emas dan permata. Bentuknya seperti bunga matahari yang dengan ujung kelopaknya yang runcing-runcing. Bagian atas berupa lempengan yang berbentuk bunga matahari. (Sumber foto: gpswisataindonesia.blogspot.com)

Foto Taloe Gulee atao Taloe Jaroe (tali jari), yaitu perhiasan tangan wanita Aceh yang dibuat dari beberapa rantai kecil dan dihiasi dengan bentuk dedaunan yang kecil, dimana terdapat dua bagian kepala (oelee) yang keduanya dihubungkan (disatukan) oleh suatu ganceng (kancing). (Sumber foto: http://atjehpusaka.blogspot.co.id/

Foto Taloe Takue Manek Krawang, perhiasan wanita Aceh yang dipakai di leher (Sumber foto: http://atjehpusaka.blogspot.co.id/

Kalau pun perhiasan-perhiasan tradisional ini masih terlihat, itu adalah warisan peninggalan lama yang mungkin sengaja dikoleksi dan lumayan langka ditemukan di pasaran. Jenis perhiasan langka ini dapat ditemukan di museum atau di galeri para kolektor barang antik, ataupun pada orang-orang tertentu di Aceh yang masih menyimpannya sebagai warisan benda pusaka.

Motif Perhiasan Pinto Aceh
Seperti yang saya diceritakan di atas, Pinto Aceh merupakan bentuk seni kerajinan yang menggagumkan, terutama dari bentuk motif dan ornamen-ornamennya. Pada awalnya motif perhiasan Pinto Aceh hanya diciptakan untuk bros, terutama jenis perhiasan dada kaum perempuan. Akan tetapi, dalam perkembangannya motif Pinto Aceh terus dikembangkan dalam beberapa jenis perhiasan lainnya. Seperti tusuk sanggul, gelang, subang/anting, cincin, tas, gantungan kunci ataupun untuk peniti baju kebaya. Bahkan kemudian motif  Pinto Aceh ini juga dikembangkan untuk perhiasan emas kaum pria berupa jepitan dasi. Misal pada gelang terdiri dari setidaknya  5 Pinto Aceh ukuran Mini gelang. Pada cincin diletakkan pada lingkaran cincin sebagai aksesori jari. 
 Foto pada awalnya motif perhiasan Pinto Aceh hanya diciptakan untuk bros


Foto berbagai perhiasan atau aksesoris yang dikembangkan bersama motif Pinto Aceh. (Sumber foto: www.online-instagram.com)

Foto motif Pinto Aceh pada cincin. (Sumber www.bukalapak.com)

Foto motif Pinto Aceh pada tas. (Sumber www.tokopedia.com)

Perhiasan motif Pinto Aceh pada dasarnya terilhami dari desain sebuah monumen peninggalan Sultan Iskandar Muda (1607-1636), yaitu Pinto Khop, pintu Taman Ghairah atau Bustanussalatin yang merupakan taman Istana Kesultanan Aceh Darussalam. Menurut riwayat, pada masa Kesultanan Aceh Darussalam, Pinto Khop ini adalah pintu belakang Keraton Aceh yang dikhususkan untuk pintu keluar masuknya permaisuri Sultan Iskandar Muda beserta dayang-dayangnya. Apabila sang permaisuri menuju ke tepian Krueng Daroy untuk bermandian senantiasa lewat Pinto Khop ini. Sekarang sebagian kecil Taman Ghairah tersebut sudah dipugar dan dikenal dengan Taman Putroe Phang, nama permaisuri Sultan Iskandar Muda yang berasal dari Pahang, Malaysia.

 
 Foto Pinto Khop yang mnejadi inspirasi terciptanya perhiasan motif Pinto Aceh.

Hingga saat ini perhiasan tradisional Pinto Aceh terus berkembang dengan pesat dan masih dapat diproduksi oleh perajin sampai sekarang. Sebagian besar dari perhiasan itu menjadi koleksi dalam Museum Aceh sebagai upaya penyelamatan benda-benda warisan budaya pusaka Aceh dan tidak tergerus arus global dan westenisasi. Dan beberapa orang juga menyimpannya sebagai pusaka serta diwariskan dari generasi ke generasi.

Akhir kata semoga khazanah kekayaan dari seni budaya dan peradaban Aceh harus tetap kita jaga, kita pelihara serta kita pugar untuk kelestariannya sehingga dapat terus tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Aceh.



Komentar

  1. Produk yg harus dilestarikan ya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya sih,suka banget sama motif Pinto Aceh terutama pada baju, shg tertarik untuk beli. Thank you Bai...

      Hapus
  2. Kalung ini menakjubkan! Saya selalu pada berburu untuk klasik, abadi, perhiasan tradisional dan ini pasti akan sesuai saku Anda! Saya telah melihat bagus koleksi di sini berbagai perhiasan dan barang-barang lainnya.


    Hadiah Ulang Tahun (=^.^=)
    Bunga Papan (^ _ ^)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Visit Tidore Island - Destinasi yang Cocok Saat Liburan Sekolah dan Bagi yang Patah Hati

Aetra Save Our Water For The Next Generation

Pengelolaan Hutan di Kawasan Ekosistem Leuser, Antara Kenyataan, Harapan dan Langkah Penting