Pengelolaan Hutan di Kawasan Ekosistem Leuser, Antara Kenyataan, Harapan dan Langkah Penting

  Salah satu kawasan Ekosistem Leuser yang berada di wilayah Aceh Tenggara, Aceh. 
Antara Kenyataan, Harapan dan Langkah Penting. Foto dok pri.

Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki areal hutan yang sangat luas, salah satunya Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang secara letak geografis berada di dua propinsi yakni Propinsi Aceh yang meliputi empat kabupaten yaitu Aceh Tenggara, Aceh Selatan, Gayo Luwes and Aceh Barat. Dan Propinsi Sumatra Utara yang meliputi dua kabupaten yaitu Langkat dan Karo. Namun saat ini luas hutan Indonesia terus mengalami penyusutan (deforestrasi), termasuk Leuser. Hal ini disebabkan populasi penduduk yang besar dan adanya permintaan produk hutan yang tinggi. Hutan dieksploitasi untuk pendukung hidup. Seperti untuk tempat tinggal, diambil kayunya, dijadikan lahan pertanian, perkebunan dan penambangan. Namun yang menyedihkan, eksploitasi sumber daya hutan ini tidak diiringi peningkatan kesejahteraan rakyat, terutama masyarakat lokal/masyarakat setempat, yakni masyarakat yang tinggal di sekitar dan di dalam kawasan hutan. Masyarakat lokal terus kehilangan akses dalam pemanfaatannya. Karena penguasaan kekayaan sumber daya hutan  banyak di dominasi oleh pengusaha besar dengan kekuatan kapitalisnya. Mereka dapat menguasai kawasan hutan, lahan dan pertambangan serta mengeksploitasinya sampai jutaan hektar luasnya dan puluhan tahun masa konsesinya. Namun masyarakat setempat yang hidupnya mengandalkan sumber daya lahan di kawasan hutan itu justru menjadi sensara.

Nasib hutan di KEL  wilayah Aceh Tenggara, Aceh, yang tak lepas dari ancaman perambahan. 
Foto: dok pri.

Dalam pandangan saya, ataupun bisa jadi dalam pandangan kita semua, apalagi saat-saat kita di perguruan tinggi yang mana dalam kajian-kajiannya dikatakan, jika sesungguhnya hutan itu adalah milik masyarakat lokal, walaupun ada istilah hutan Negara, tapi sebenarnya itu sejak awal telah menjadi hak-hak masyarakat lokal. Mereka sudah membagi hutan itu menjadi hutan cadangan, hutan yang tidak boleh diganggu gugat, hutan yang boleh diproduksi  atau tidak boleh dan sebagainya. Mereka sudah mempunyai kearifan lokal dan sekarang tinggal melakukan revitalisasi terhadap apa yang ada di masyarakat tersebut.

Sejarah juga telah membuktikan bahwa, selama masyarakat lokal hidup di hutan, mereka tidak pernah memusnahkan hutan yang mereka diami. Merekapun tidak menjual hasil hutan tanpa aturan yang jelas. Yang memusnahkan hutan justru dari beberapa kebijakan pemerintah, yang mengambil kayu secara besar-besaran, namun hasilnya tidak untuk kepentingan masyarakat lokal.

***
Mengingat pentingnya perlindungan Kawasan Ekosistem Leuser, dikeluarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 Tanggal 1 Agustus 2006 tentang Pemerintahan Aceh untuk melakukan pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser di Wilayah Aceh dalam bentuk perlindungan, pemulihan fungsi kawasan dan pemanfaatan secara lestari. Untuk memenuhi maksud tersebut, Pemerintah Aceh-pun telah membentuk sebuah Badan melalui Peraturan Gubernur No. 52 Tahun 2006 tanggal 28 November 2006 yang diberi nama Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser Wilayah Aceh (BPKEL).

 Kawasan Ekosistem Leuser, foto : istimewa

Usaha pelestarian kawasan ekosistem Leuser telah sejak lama dilakukan, tetapi masih belum memberi hasil yang memuaskan. Yang lebih memilukan adalah secara terus menerus kawasan ini ini dirusak oleh oknum-oknum tetentu akibat ketidakpahaman akan makna pentingnya menjaga lingkungan, keserakahan atau desakan kebutuhan ekonomi  yang semakin menjadi-jadi.


Ketika pandangan mata saya memadang; Pengelolaan Hutan di Kawasan Ekosistem Leuser, Antara Kenyataan, Harapan dan Langkah Penting. Foto dok Pri.

Dalam pandangan mata saya, Kawasan Ekosistem Leuser saat ini telah banyak berubah, baik dari segi pemanfaatannya maupun kondisinya.

A.      Dari Segi Pemanfaatannya

Dari segi pemanfaatanya, KEL kurang termanfaatkan untuk kepentingan manusia. Memang untuk sementara peningkatan pemanfaatan kayu dapat menimbulkan peningkatan perekonomian, tetapi itu tidak berdampak langsung terhadap masyarakat lokal (masyarakat sekitar hutan). Masyarakat lokal tetap saja dalam situasi yang sesungguhnya kurang menguntungkan.

     Pengelolaan hutan selama ini terutama untuk hutan produksi kurang memperhatikan kebutuhan masyarakat lokal. Pengalaman juga sudah menunjukkan bahwa sistem Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang sekarang ini, sebagian besar tidak menguntungkan masyarakat lokal sekaligus menimbulkan kerusakan lingkungan. Keuntungan yang didapat justru lebih banyak mengalir ke tempat lain. Mungkin ke Jakarta atau ke luar negeri. Jelas ini sebuah kekeliruan buat saya, bukan hanya pemerintah, tapi kita semua. Jadi saya pikir perlu upaya serius, salah satu diantaranya adalah pemanfaatan hasil hutan terutama non kayu dengan berbagi keuntungan yang baik untuk masyarakat lokal. Jadi yang harus diingat, potensi degradasi hutan dapata saja terjadi dengan mudah, jika tidak dilakukan pengelolaan hutan dengan baik, apalagi jika sudah dibuka HPH.

Pemanfaatan hasil hutan non kayu saya pikir itu adalah langkah yang cerdas dalam pengelolaan hutan. Karena hutan tidak akan rusak. Kita tetap sejahtera jika kita memanfaatkan hutan dalam bentuk pemanfaatan non kayu seperti tanaman obat, tanaman pewangi, tanaman pewarna atau aromatik, madu, untuk wisata/rekreasi dan lain-lain. Jangan hanya sawit saja, karena bila suatu saat sawit tidak menguntungkan lagi, tentu akan rugi nantinya. Jadi lebih baik yang ada sekarang ini jangan lagi dikembangkan atau dialih fungsikan. Tetapi kembangkanlah pemanfaatan hutan secara lestari. Misalnya saja kita dapat memanfaatkan jasa air dengan membuat Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), jual energinya, berikan keuntungan untuk penduduk di hulu sungai. Dengan begitu masyarakat lokal akan sejahtera dan termotivasi menjaga hutan. Sementara untuk sawit, bila dibandingkan dengan karet, maka yang lebih cocok dikatakan perkebunan lestari itu adalah karet. Walaupun hasil penjualan sawit lebih mahal, tapi untuk jangka panjang, sawit tidak sebaik karet untuk kelestarian lingkungan. Karena karet terbukti selama puluhan tahun tidak menunjukkan dampak negatif yang besar terutama untuk tata kelola air di hutan. Jadi untuk sawit saya pikir dapat dikembangkan menjadi berbagai produk industri, seperti untuk biofuel, plastik ramah lingkungan, produk kosmetik dan bahan makanan ataupun yang lainnya. Kemudian untuk kebutuhan kayu, saya pikir cukuplah dari Hutan Tanaman Industri (HTI) atau Hutan Produksi (HP) yang ada dan dikelola sebaik-baiknya dengan prinsip berkelanjutan. Seperti luasan areal yang cukup, dan setelah ditebang segera ditanam kembali (reboisasi). Bila kebutuhan kayu dalam negeri tidak terpenuhi, tidak salahnya jika kita import.

B.       Dari Segi Kondisinya

Dari segi kondisinya, saaya melihat KEL tidak perawan lagi, karena telah banyak dialih fungsikan untuk perkebunan seperti kelapa sawit, ladang berpindah, pertambangan, pembangunan jalan, dan bentuk-bentuk perambahan hutan lainnya.

Berbicara tentang hutan produksi di Kawasan Ekositem Leuser, saya melihat kondisi saat ini hutan produksi itu tidak ada penanaman kembali atau digunakan secara berkelanjutan. Bila ada penanaman kembali itupun tidak memadai. Sementara hutan itu juga banyak dikonversi menjadi perkebunan terutama kebun kelapa sawit. Tentu fungsinya sebagai hutan tidak sama lagi, mungkin untuk mengatur siklus hidrologi masih bisa, tetapi banyak fungsi lain yang hilang yang diakibatkan oleh alih fungsi hutan ini. Jadi memang sudah waktunya Kawasan Ekosistem Leuser dan kawasan-kawasan hutan lain di Sumatera bahkan hutan Indonesia secara keseluruhan, tidak lagi memberikan izin untuk alih fungsi hutan. Jika terpaksa sekali, harus dilakukan penilaian ekonomi yang seksama, manakah yang lebih baik atau menguntungkan. Barangkali jika memang masih ada lahan-lahan yang tertinggal seperti lahan kritis, jika ingin dijadikan perkebunan dan pertambangan silahkan saja saya pikir.

Kawasan hutan KEL termasuk TNGL di Aceh Tamiang yang berubah menjadi perkebunan sawit, 
foto dok pri.


C.      Belajar Dari Masyarakat atau Pemangku Adat Melayu dan Masyarakat Tradisional

Prinsip orang melayu dan masyarakat tradisional itu adalah sederhana dalam penampilan, dalam artian tidak pernah berlebihan.

Masyarakat melayu memiliki kearifan yang menyelamatkan kelestarian sumber daya alam dan tidak mengeksploitasi secara berlebihan. Umumnya masyarakat menganggap dirinya paling berhak untuk memanfaatkan atau memelihara hutan di sekelilingnya. Sedangkan di dunia melayu telah diatur secara rinci. Hutan dan tanah yang dimiliki harusdibagi pemanfaatannya. Tetua Melayu masa silam sebenarnya punya pandangan yang jauh ke depan. Dengan membuat lingkungan hidup terpelihara, mereka telah menyelamatkan generasi di belakang. Mereka bukan orang yang egois, yang hanya memandang kepentingan dan kesenangan diri mereka. Dalam hal hutan tanah, pemangku adat melayu telah membuat semacam tata ruang yang paling kurang ada empat bagian yakni : rimba simpanan (rimba larangan), tanah kebun/peladangan, rimba kepungan sialang dan tanah pekarangan. Rimba simpanan tidak boleh diganggu gugat, karena sebagai sumber pelestarian seluruh margasatwa. Tanah kebun dan ladang dimanfaatkan sebagai areal perkebunan untuk menanam karet dan lain-lain. Sedangkan rimba kepungan sialang sebagai pembatas kampung-kampung. Bisa berbentuk hutan buah-buahan dan lain-lain. Jadi sangat jelas sekat-sekat dan sudah ada alokasi.

Tanda larangan di hutan Leuser, penebang Pohon Dikenakan Hukuman Adat. 
Foto: Green Journalist

Pemangku adat juga mempersilakan masyarakat mengambil kayu di hutan, tetapi harus ada aturannya. Kayu hutan yang boleh diambil harus dengan syarat berdiameter minimal 20 cm, sedangkan jika untuk diekspor harus 20 desimeter. Intinya hutan ditebang diganti hutan, kayu ditebang diganti kayu.

Kemudian masyarakat tradisional, dari dulu masyarakat tradisional yang memiliki tanah ulayat telah menggagas untuk membuat peraturan tentang kepemilikan tanah ulayat. Tanah Ulayat adalah tanah bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Sedangkan hak penguasaan atas tanah masyarakat hukum adat dikenal dengan Hak Ulayat. Pada zaman Belanda, tanah ulayat dilindungi oleh peraturan yang dibuat Belanda. Contoh-nya adalah tanah ulayat Kuantan Singingi di Riau yang mendapat perlindungan dan ketetapan Residen Riau pada tanggal 20 Maret tahun 1919. Pemerintah Belanda tidak mau mengganggu tanah ulayat, bahkan untuk berburu harus meminta izin kepada para datuk/pimpinan adat-nya.

Prinsip lainnya dari masyarakat melayu dan tradisional adalah harta yang utama adalah berkahnya bukan jumlahnya. Berbeda dengan kondisi kita sekarang, yang mana, seluruh harta dan tanah-nya dirampas oleh para pemilik modal.

***
Barangkali timbul pertanyaaan, kenapa pemerintah lebih memihak kepada pemilik modal daripada kepada masyarakat? Banyak faktor yang menyebabkan hal ini, pertama adalah pemerintah sangat gegabah membuat rencana pembangunan. Kedua, hanya untuk mendapatkan dana atau kas negara secara cepat sehingga apa saja dijual dengan cepat. Sejak zaman Soeharto, sistem ekonomi sudah menganut sistem kapitalis, bahkan sekarang sudah menjadi ekonomi neoliberal.

Sistem kapitalis memberikan kebebasan kepada penguasa dan pengusaha untuk bertindak sesuka hatinya. Hanya asal dapat uang dan pendapatan perkapita naik, para investor mendapat kemudahan untuk membuka hutan. Padahal investasi tersebut tidak menyentuh masyarakat dan hak-hak masyarakat-pun tidak diperhatikan. Jadi pimpinan daerah hanya mementingkan pemasukan uang, tanpa mementingkan kepentingan masyarakat. Misalnya saja, pertambangan oleh masyarakat dilarang karena tidak menyetor kepada bupati. Tetapi jika pengusaha/investor besar, akan diberi izin karena menyetor ke bupati walaupun lingkungan menjadi rusak atau menjadi taruhannya.

Pemerintah tidak melihat bagaimana semestinya masyarakat di sekitar hutan berperan. Dulu sudah ada aturan di lembaga adat. Namun pemerintah tidak melihat ini dan secara sembrono memberikan hak pengelolaan hutan kepada pengusaha. Sementara masyarakat yang berhak tidak diperhatikan. Pemerintah berlindung dari undang-undang yang mengatur semua kekayaan menjadi hak Negara, semua dapat diambil atas nama negara.

Namun yang miris, negara membuat aturan yang merampas tanah masyarakat tanpa mereka diberi tahu sebelumnya. Negara tidak menghormati hak-hak masyarakat yang ada di sekitar bahkan di dalam hutan itu sendiri. Data tahun 2010 tercatat sekitar 75 % tanah atau sekitar 4,5 juta hektar lahan di Sumatera dikuasai oleh HPH. Sedangkan uang yang masuk ke Pemerintah Daerah (Pemda) hanya sektar 7 % dan itupun tidak sampai ke rakyat. Pemerintah sendiri dirugikan karena hanya mendapat 7 %, ini-pun sungguh ironis.

Lalu siapa yang harus bertanggung jawab dalam perlidungan masyarakat ini? Saya pikir sebenarnya ini tugasnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat  Daerah (DPRD) sebagai wakil rakyat. Namun yang terjadi, anggota DPR/DPRD begitu mudah ditunggangi oleh pengusaha dan malah membujuk rakyat untuk melepaskan hak-nya terhadap kepemilikan sumber daya alam.

DPR/DPRD-pun tidak mengetahui aturan di masyarakat, seperti sistem pembagian pemanfaatan hutan yang telah berlangsung secara turun-temurun dalam masyarakat melayu. Hutan di Riau misalnya, tidak diganggu-gugat pun akan memberikan hasil yang lebih besar dari kebun kelapa sawit. Tanpa hutan dirusak sedikitpun, hutan akan memberikan hasil yang melimpah seperti rotan, buah-buahan, sayur-sayuran dan lain-lain.

Namun kita lihat sekarang setelah dialih fungsikan ke kebun kelapa sawit, masyarakat sekitar hutan menjadi kuli dan kesejahteraannya menurun. Bagaimana tidak, kebun sawit menyebabkan tanah menjadi kering dan miskin hara. Pendapatan dari kebun kelapa sawit hanya untuk kaum kapitalis saja. Dan seharusnya kelapa sawit itu hanya boleh ditanam di lahan yang tidak produktif. Sedangkan lahan produktif, untuk komoditas lain, seperti pala, karet, kelapa, kopi dan lain-lain. Saya pikir keuntungan dari penanaman komoditas lain ini, akan lebih menguntungkan daripada menanam kelapa sawit.

***
Bila sekiranya diberikan proyek percontohan di mana satu masyarakat atau desa diberikan hak untuk mengelola hutan bersama dengan perusahaan-perusahaan tertentu yang memiliki modal untuk penanaman hutan, bersama pemerintah baik daerah maupun pusat, dan hasilnya dibagi secara adil, saya yakin mudah-mudahan hutan dapat terjaga kelestariannya. Dan menurut saya, luas Kawasan Ekosistem Leuser sekarang yang masih dapat dijadikan hutan kemasyarakatan masih cukup, tanpa harus membuka hutan baru. Apalagi dengan menghutankan kembali bekas-bekas HPH yang dulu, dan dalam jangka beberapa tahun akan kembali mendapatkan hasilnya.

Jika hutan masih bagus atau tidak dirusak oleh HPH, maka pengelolaan hutan dengan sistem masyarakat melayu dan tradisional akan masih dapat diterapkan, terutama di Kawasan Ekosistem Leuser. Moga dengan sistem pemerintahan Jokowi saat ini, tokoh masyarakat masih bisa berdaya, persepsi pemerintah dan masyarakat dalam konteks membangun hutan pun menjadi sama atau tidak lagi berbeda, yakni sama-sama meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Lalu apa saja kah langkah-langkah yang harus diambil oleh pemerintahan Jokowi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan ataupun masyarakat di sekitar sumber daya alam? Menurut saya ada lima langkah yang harus diambil yakni;

1.        Seluruh perusahaan harus diinventarisir luas lahannya, apakah sesuai dengan izin yang diberikan. Lalu diinventarisir juga kerusakan hutan yang diakibatkan oleh kegiatan tersebut.

2.     Ditentukan dampak positif dari hadirnya perusahaan terkait dengan meningkatnya pendapatan. Alasan bahwa masyarakat mendapatkan lapangan pekerjaan tidak dapat dijadikan alasan, karena sebelum perusahaan hadir-pun, masyarakat sudah mempunyai pekerjaan.

3.      Harus disusun peraturan atau kebijakan baru yang menguntungkan masyarakat lokal/setempat dan juga mengurangi kerusakan lingkungan. Misalnya pemerintah dan perusahaan harus melibatkan masyarakat lokal secara intensif dengan pembagian hak dan kewajiban yang jelas. Lalu pemerintah juga harus menegaskan jangka waktu berakhirnya izin perusahaan tersebut. Dan bila perlu, izin dicabut jika perusahaan ternyata mengakibatkan kerusakan lingkungan.

4.        Terkait kebijakan pula, moratorium konversi hutan alam dan moratorium penebangan hutan alam juga harus dilakukan. Karena kenyataannya jumlah bibit yang ditanam lebih sedikit dibandingkan jumlah pepohonan yang ditebang.

5.    Pengelolaan hutan harus lebih menekankan pada pemanfaatan hasil hutan non kayu dan jasa lingkungan. Seperti yang telah saya singgung, hutan-hutan tropis di Indonesia khususnya Hutan Leuser memiliki jutaan potensi yang dapat dimanfaatkan secara komersial dan sosial seperti sebagai bahan obat-obatan, kosmetik, tempat wisata dan lain-lain. Potensi ini tidak tergali dan termanfaatkan secara serius, namun justru Negara luar yang memanfaatkan dan menikmati potensi hasil hutan non kayu kita. Oleh karena itu sudah saatnya pemerintah juga merumuskan kebijakan untuk menggali dan memanfaatkan potensi yang ada untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

***
Masalah hutan adalah masalah bersama dan bukan hanya milik pemerintah ataupun para pemegang izin HPH. Masyarakat, khususnya masyarakat setempat mempunyai andil yang besar dalam melestarikan hutan. Saya pikir pemerintah hanya perlu memberikan sosialisasi dan kesempatan yang besar bagi tumbuhnya kreatifitas masyarakat. Ini dapat dilihat dari keberhasilan beberapa masyarakat adat melayu dan tradisional yang mampu menjaga dan melestarikan hutan dari gangguan dan ancaman para perambah hutan. Pemerintah harus dapat memberikan insentif dan melindungi masyarakat yang melakukan pelestarian dari gangguan pihak-pihak yang ingin memanfaatkan kekayaan hutan hanya untuk kepentingan pribadi ataupun kelompok.

Sungguh sulit untuk dibayangkan, manakala kawasan Leuser dan kawasan hutan-hutan lain di Sumatera menjadi tidak mampu lagi menyangga hutan sebagai garda terakhir “keselamatan dunia”. Karena hutan yang relatif lengkap dan masih utuh saat ini di Indonesia hanya terdapat di Sumatera, khususnya kawasan ekosistem Leuser Aceh. Sedangkan di luar negeri adalah kawasan ekosistem hutan Amazon di Brazilia.

Komentar

  1. Kawasan Ekosistim Leuser, sering Dijuluki oleh banyak orang sebagai PARU2 DUNIA..agar KEL ini merasa Sangat Penting untuk Kehidupan perlu kita bertanya dan Evaluasi Sejauh mana Kebijakan Pemerintah Pusat, Daerah dan Dunia serta Stakeholder lainnya dlm Berkolaborasi sehingga Fungsi KEL dpt Lestari dan bermanfaat bagi Masyarakat disekitar hutan sebagai Penyangganya..(Salam Lestari)..Program Aceh Green..Good), Skrg gmn Kiprahnya.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aetra Save Our Water For The Next Generation

Visit Tidore Island - Destinasi yang Cocok Saat Liburan Sekolah dan Bagi yang Patah Hati