Harapan dan Tantangan Industri Bauksit dan Alumina



Bauksit dan Alumina. Dua kata ini bukanlah nama seseorang, namun bauksit dan alumina memang satu tautan. Bauksit merupakan bahan membuat Alumina yaitu Alumunium Oksida yang sangat bermanfaat untuk bahan berbagai produk, dan juga harganya mahal. Nilai tambah dari pengolahan bauksit menjadi alumina sangat besar, sekitar US$ 350 per ton. Bahkan jika alumina diolah sedemikian rupa menjadi alumunium bentuk lain yang lebih berkualitas, harganya maksimal bisa mencapai kisaran US$ 2.500 per ton loh.
Alumina menjadi “pengisi” yang lebih disukai dan ramah lingkungan dibanding bahan plastik misalnya untuk kosmetik seperti cat kuku, lipstik dan tabir surya (sunblock). Selain itu dalam aplikasi lain, Alumina merupakan katalis yang berguna dalam dehidrasi alkohol, menghilangkan air dari aliran gas dan juga sehingga digunakan sangat banyak di industri kimia. Alumina juga menjadi favorit dalam produk “memoles” CD/DVD serta pelindung noda dan pigmen efek kosmetika yang tidak berbahaya namun berkualitas prima. Ada 2 jenis produk alumina yang bisa dihasilkan yaitu Smelter Grade Alumina (SGA) danChemical Grade Alumina (CGA). Lebih dari 90% pengolahan bijih bauksit di dunia dilakukan untuk membuat SGA yang kemudian diteruskan dengan pembuatan Al Murni.
Bauksit adalah bijih batuan yang terdiri dari kumpulan mineral yang kemudian dapat diolah/dimurnikan melalui proses yang biasanya disebut “proses bayer” untuk menjadi alumunium dan alumina (alumunium oksida). Kata bauksit mengacu pada lokasi pertama batuan ini yaitu Les Baux, tahun 1821 di bagian selatan Prancis, sedangkan di Indonesia, Belanda-lah yang menemukan potensi ini di Kijang, Pulau Bintan, yang sekarang masuk ke wilayah Provinsi Kepulauan Riau pada tahun 1924 lampau. Sumber daya alam berupa bauksit di Indonesia tersebar di region Sumatra utamanya di Kepulauan Riau, Bangka dan Belitung, juga sebagian di Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara, serta Pulau Sumba dan Pulau Halmahera di Maluku.
Saat ini, total jumlah cadangan bauksit menurut catatan Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I) yang merupakan bahan dasar Alumina di Indonesia, kita memiliki memiliki cadangan bauksit sebesar 6.99 Milyar ton. Jika pasokan ini diperuntukan untuk kebutuhan bahan baku industri pemurnian bauksit (smelter alumina) dalam negeri yang dibutuhkan adalah 18 juta ton/tahun, dan ekspor bauksit masih bisa untuk sebanyak 22 juta ton/tahun. Dengan asumsi demikian pun, dari 7 Milyar ton di-bagi 40 juta ton pertahun, maka SDA dan cadangan Bauksit Indonesia masih mampu bertahan selama 175 tahun kok.
Smelter Alumina, merupakan tempat pengolahan bijih mineral Bauksit menjadi Alumina. Sebuah proses yang dipercaya oleh para pengambil kebijakan energi dan sumber daya mineral di negeri ini untuk mendapatkan nilai tambah, dan juga keuntungan ekonomis yang berlipat untuk bangsa ini. Namun bukan “smelter” yang menjadi masalah, karena sudah jelas, Ia menjadikan nilai tambah produk SDA yang kita punya semakin “berkelas”. Bukan ekspor mentah kemudian dijual dipasaran dunia dengan harga berlipat-lipat. Jika kita bisa membuat menjadi bahan yang bermanfaat dan bernilai ekonomis tinggi, mengapa tidak kan?
Namun lebih dari itu. Pembuatan Smelter membutuhkan biaya dan perencanaan yang matang serta menyeluruh. Ada hajat hidup masyarakat banyak yang tercerabut ketika pembangunan dan penjualan bauksit terbentur satu sama lain, tidak saling melengkapi dan berjalan paralel. Dan sebenarnya, pemurnian ini sudah jadi urusan dan dilakukan perusahaan IUP yang bergelut dengan Bauksit sejak lama. Lalu, apa yang terjadi. Mari kita lihat balada "Bang Bauksit" dan "Neng Alumina" ini lebih jauh.
Larangan Ekspor, Untungkan (atau rugikan) siapa?
Ya, isunya adalah mengenai larangan ekspor. Anehnya, walau merupakan SDA yang berpotensi mengubah wajah Indonesia menjadi lebih maju dengan peningkatan perekonomian, Bauksit ini terdera larangan ekspor sejak tahun 2014. Memang, hampir sama kasusnya dengan Tambang yang terkena dampak UU Minerba bahwa harus membuat smelter (pengolahan) di dalam negeri, alih-alih langsung diekspor secara mentah ke pasar global, banyak hal yang membuat kita harus bertanya-tanya, ada apa dengan Bauksit dan Smelter Alumina yang menjadi harapan kita.
Jika di sisi lain, Smelter tambang seperti emas dan tembaga seperti Newmont dan Freeport sudah bisa mengekspor lagi hasil tambangnya saat ini, tidak demikian dengan Perusahaan yang memiliki ijin usaha pertambangan (IUP) Bauksit yang harus membuat smelter Alumina. Semua harus terhenti walaupun kemajuan smelter lumayan signifikan dan “on the track”. Produksi serta merta terhenti. Bauksit dan Nikel, sebagaimana fakta yang ada di lapangan, masih tidak dapat berproduksi karena tak bisa ekspor. Berbeda dengan dua perusahaan asing diatas yang tarik-ulur dan akhirnya bisa ekspor. Mau tidak mau, masyarakat tentu bertanya-tanya.
Paling tidak, ada tiga perusahaan multinasional yang tertarik. Pertama, Dubai Alumunium Company Ltd (Dubal) asal Uni Emirat Arab yang dikabarkan akan bekerjasama dengan PT Aneka Tambang dan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum). Kedua, Hainan Joint Enterprise-Business Service Co Ltd, asal Tiongkok yang akan bekerjasama dengan PT Indopura Resources dan yang ketiga, yang isu-nya makin gencar adalah Russia Alumunium Company (Rusal) yang akan membangun Smelter di Indonesia bekerjasama dengan PT Arbaya.
Ada beberapa catatan. Menguntungkan siapa. Kebijakan larangan ekspor justru bertentangan dengan semangat memajukan industri nasional. Apa sebab, perusahaan multinasional yang disebutkan diatas lebih banyak bekerjasama dengan perusahaan lokal yang tidak memiliki usaha penambangan langsung. Bukan yang bertahun-tahun bergelut dengan usaha tambang bauksit itu sendiri. Perusahaan-perusahaan yang notabene sudah memiliki IUP ini terpaksa menghentikan produksinya di kala “politik lobi” bermain di atas. Nah, apabila, worst case scenario, terjadi penundaan pembangunan smelter dan seterusnya, maka makin tidak jelaslah nasib tambang yang ada.

Larangan ekspor, tentu menguntungkan perusahaan semacam Rusal dan Dubal ternyata. Sebab, dengan hilangnya peredaran bauksit Indonesia di skala global, maka bauksit menjadi berkurang dan saham mereka pun semakin tinggi nilainya. 

Lalu, apa harapan kita ke depan?
Berdasarkan diskusi di Seminar Bauksit yang dilaksanakan pada 25 Mei 2015 lalu, dengan tajuk Kondisi Terkini, Harapan dan Tantangan di Masa Depan Industri Pertambangan Bauksit dan Smelter Alumina Indonesia beberapa kondisi saat ini dikritisi. Kondisi Izin Usaha Pertambangan (IUP) bauksit berada pada situasi darurat dimana larangan ekspor ini telah memakan korban PHK 40 ribu lebih karyawan dan ketidakpastian kondisi investasi. Untuk itu, menurut saya, hal paling sederhana, berlakukan saja hal yang sama industri Bauksit dengan mineral lain seperti tambang emas-nya Freeport dan Newmont. Boleh ekspor asalkan memenuhi kebutuhan dalam negeri. Dengan hitung-hitungan yang jelas, maka akan didapat jumlah yang tepat.
Menurut saya, tidak perlu ekstrim serta-merta interpretasi dilarang ekspor sebelum smelter selesai. Sebab, pembangunan smelter adalah satu hal, dan ekspor bauksit adalah hal lainnya. Sementara itu, jika merujuk ke UU Minerba, karena di dalam pasal-pasal, ayat-ayat, dan penjelasan dari Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tersebut, juga PP No. 23 Tahun 2010 dan PP No. 1 Tahun 2014 tidak ada tersurat jelas mengenai pelarangan ekspor.
Lagipula, pemurnian ini juga masih kontroversi. Sumber lain mengatakan bahwa IUP sudah mengolah bauksit loh. Dipertegas dengan laporan dari ahli geologi dan pertambangan baik dari LAPI-ITB dan CMPFA-UI dan jika merujuk ke Pasal 1 ayat 20 UU No 4 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa pemurnian/pengolahan itu untuk meningkatkan mutu mineral, They did it already. Kurang cukup mungkin? Ah standard pemerintah mungkin beda.Eniwei, pembangunan smelter pun sudah direncanakan, --walaupun disinyalir ada bisnis dibaliknya dimana perusahaan asing yang bekerjasama dengan lokal bukan ke perusahaan IUP yang sudah mengolah maupun seharusnya digandeng dalam pembangunan smelter.
Sehingga, mungkin dengan menjamin adanya pasokan yang cukup dan potensi peningkatan perekonomian (sebaliknya, stop ekspor akan menambah masalah baru terkait PHK, ekonomi daerah menurun dst) maka dengan mengendalikan produksi dan ekspor bauksit pada kisaran dan jumlah yang tepat maka semua bisa berjalan paralel.
Pembatasan jumlah produksi misalnya, dapat diterapkan melaluikuota produksi nasional dan ekspor yang terbatas jumlahnya dengan perhitungan yang cermat. Dengan demikian, kita sebagai bangsa yang berdaulat, memiliki sumber daya bauksit dan pemurnian berupa smelter alumina di negeri sendiri, bisa optimal. Tidak bergantung kepada proyek smelter antara investor asing dan lokal yang erat nuansa bisnis-politiknya. Serta mengesampingkan hajat hidup orang banyak.
Pemerintah mesti menyadari ini, dan memberikan alternatif solusi yang tepat, bukan pada titik ekstrim pelarangan yang malah menimbulkan celah kontra-produktif dan praktik kong-kalikong yang bisa saja terjadi antara para pejabat teras dan bisnis multinasional. Jangan sampai terjebak oleh keputusan sendiri yang implementasinya ber-standard ganda. Ketika keran ekspor dibuka untuk beberapa perusahaan pertambangan lain, dan bauksit masih tertutup, maka pertanyaan demi pertanyaan akan terus hadir, dan menggiring kita ke pikiran buruk.
Bauksit merupakan sumber daya alam kita, milik kita. Pembangunan smelter, seperti apapun hasilnya, juga harus untuk kepentingan kita. Larangan ini itu tak banyak manfaat bila tak muncul dengan solusi “lokal” dan minim kontroversi. Buah kebijakan akan dirasakan oleh semua komponen bangsa. Penghentian ekspor merugikan kita, menguntungkan “mereka”. Semua kalau untuk bangsa ini, maka harapannya pun jelas, peningkatan perekonomian kita sebagai bangsa yang maju.
Wallahu’alam, mari kita dukung produksi-industri bauksit dan smelter alumina berjalan beriringan, dengan demikian kita bisa menerima manfaat yang lebih luas, untuk kesejahteraan rakyat, bukan syahwatkekuasaan semata dari penguasa yang dengan mudahnya melakukan kebijakan yang kontroversial dan tak banyak manfaatnya secara umum untuk masyarakat kita. Dan saya yakin, pemerintah kita juga peka, terutama saat ini dimana keran aspirasi terbuka lebar, sehingga kita perlu positiv thinking, terutama ketika menulis ini, penulis pun dalam ibadah shaum ramadhan yang tentu insya allah lebih jernih pikiran dalam mengetik kritik dan saran. Itulah harapan dan urun-solusi dari penulis, yang dalam kapasitas terbatas dan minim ilmu ini turut mencoba berbagi pandangan dalam kisruh larangan ekspor bauksit dan pembuatan smelter alumina di negeri tercinta ini.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengelolaan Hutan di Kawasan Ekosistem Leuser, Antara Kenyataan, Harapan dan Langkah Penting

Aetra Save Our Water For The Next Generation

Visit Tidore Island - Destinasi yang Cocok Saat Liburan Sekolah dan Bagi yang Patah Hati